- Diposting oleh : Lptq Sumut
- pada tanggal : September 29, 2025
Sejarah penyelenggaraan perlombaan membaca al-Qur’an di Sumatera Utara tidak hanya mencatat peristiwa di Pondok Bungur, Asahan tahun 1946, tetapi juga merekam peristiwa penting lainnya di Kota Binjai. Pada tanggal 27–28 Januari 1951, sebuah sayembara baca Qur’an digelar di kota tersebut dan berhasil menyedot perhatian besar masyarakat. Tidak kurang dari 4.000 orang hadir untuk menyaksikan acara yang kelak menjadi salah satu tonggak sejarah perjalanan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) di Indonesia.
Penggagas acara ini adalah Syaikh H. Abdul Halim Hasan al-Binjai, seorang ulama besar asal Binjai yang dikenal luas melalui karya-karya tafsirnya. Beliau tercatat sebagai penulis Tafsir Ayat al-Ahkam (2006) serta Tafsir al-Qur’an al-Karim yang mencapai jilid-jilid hingga Juz IX. Kecintaan beliau terhadap al-Qur’an tidak hanya diwujudkan dalam karya ilmiah, tetapi juga dalam upaya membumikan tilawah al-Qur’an di tengah masyarakat. Dalam pandangan beliau, al-Qur’an bukan hanya teks yang dibaca secara privat, melainkan harus dihidupkan dalam ruang sosial sehingga umat dapat menjadikannya pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Menurut catatan dalam sebuah seminar tahun 2014 bertajuk “Melacak Sejarah MTQ Pertama di Indonesia”, seorang peserta bernama Khalil—murid dari Syaikh Abdul Halim Hasan—menyajikan makalah berjudul Sekilas Tentang Sejarah Pertama Lahirnya Sayembara al-Qur’an yang Sekarang Dinamakan MTQ. Dalam makalah tersebut, ditegaskan bahwa keberadaan sayembara ini berhubungan erat dengan ajakan untuk kembali meneladani al-Qur’an, terutama di kalangan pemuda pasca-kemerdekaan yang mulai jauh dari nilai-nilai agama. Syaikh Abdul Halim Hasan memandang perlu untuk menghidupkan kembali semangat berinteraksi dengan al-Qur’an melalui sebuah ajang sayembara.
Perlu dicatat, situasi Indonesia saat itu masih berada dalam suasana transisi setelah melewati masa-masa penuh gejolak pasca-proklamasi kemerdekaan. Di tengah euforia kemerdekaan, masyarakat menghadapi tantangan baru berupa penetrasi budaya luar, pergolakan politik, serta melemahnya disiplin moral di kalangan pemuda. Banyak pemuda yang terjebak dalam pergaulan bebas, mulai melupakan pengajian, dan jarang lagi terdengar lantunan al-Qur’an dalam keseharian mereka. Syaikh Abdul Halim Hasan sebagai ulama yang peduli dengan kondisi umat, tidak tinggal diam. Beliau memilih jalur dakwah kultural, menghidupkan kembali budaya membaca al-Qur’an dengan menjadikannya sebuah acara besar yang menarik minat banyak kalangan.
Sayembara baca Qur’an di Binjai itu pun menghadirkan para peserta dan undangan dari berbagai kabupaten dan kota di Sumatera Utara. Catatan menyebutkan, undangan datang dari Medan, Langkat, Binjai, Deli Serdang, Tanjung Balai, Siantar, Simalungun, Asahan, bahkan juga Tanjungbalai. Antusiasme masyarakat begitu besar, hingga arena sayembara dipenuhi ribuan jamaah yang ingin menyaksikan lantunan ayat suci. Kehadiran 4.000 orang pada masa itu adalah jumlah yang luar biasa, mengingat kondisi transportasi masih terbatas dan komunikasi belum semudah sekarang. Fakta ini menandakan adanya kerinduan kolektif umat terhadap al-Qur’an dan kuatnya solidaritas sosial untuk menyukseskan acara yang dianggap sebagai kebangkitan spiritual umat Islam Sumatera Utara.
Yang menarik, dalam penyelenggaraan acara tersebut tidak ditemukan adanya penolakan. Sebaliknya, masyarakat Binjai dan sekitarnya justru saling bahu-membahu untuk mendukung. Mereka bergotong-royong menyiapkan tempat, menyumbang tenaga, menyediakan konsumsi, dan bahkan menampung para tamu yang datang dari luar kota. Suasana persaudaraan begitu terasa, seolah-olah sayembara ini bukan hanya milik penyelenggara, melainkan milik seluruh masyarakat Muslim di Sumatera Utara. Hal ini menjadi bukti bahwa al-Qur’an benar-benar menyatukan hati umat, melampaui sekat sosial, etnis, dan daerah.
Kebersamaan itu juga terlihat dari bagaimana para pedagang lokal ikut meramaikan suasana dengan menyediakan kebutuhan logistik acara. Ada yang menyumbangkan tikar, ada yang membawa lampu penerangan, bahkan para ibu rumah tangga menyiapkan hidangan untuk para tamu yang datang dari jauh. Semuanya berlangsung tanpa pamrih, semata-mata sebagai wujud kecintaan kepada al-Qur’an dan hormat kepada ulama yang telah menginisiasi kegiatan tersebut.
Di tengah suasana pasca-perang kemerdekaan, sayembara ini memiliki makna ganda: bukan sekadar ajang perlombaan, tetapi juga sebuah momentum kebangkitan spiritual. Kehadiran Syaikh Abdul Halim Hasan dengan gagasan ini menunjukkan kepedulian beliau terhadap generasi muda Islam yang dinilai sedang mengalami krisis moral dan spiritual. Dengan sayembara tersebut, beliau mengajak umat untuk kembali merujuk pada al-Qur’an sebagai pedoman hidup.
Khalil dalam makalahnya juga menekankan bahwa sayembara di Binjai tidak hanya memperlihatkan aspek tilawah sebagai seni membaca al-Qur’an, tetapi juga memunculkan kesadaran baru bahwa membaca al-Qur’an secara merdu dan sesuai kaidah tajwid dapat menjadi daya tarik dakwah yang kuat. Banyak pemuda yang sebelumnya acuh terhadap al-Qur’an, mulai tertarik untuk belajar membaca dengan baik setelah menyaksikan para qari tampil di atas panggung. Dari sini dapat dilihat bahwa sayembara itu tidak hanya menanamkan kebanggaan, tetapi juga memicu proses regenerasi qari di kalangan anak muda.
Sayembara Binjai 1951 juga memperlihatkan bagaimana Islam di Sumatera Utara berkembang melalui tradisi kompetisi yang sehat. Dalam sayembara tersebut, tidak ada rivalitas yang merusak, justru muncul semangat persaudaraan di antara peserta. Para qari yang tampil bukan sekadar ingin menjadi juara, tetapi juga ingin mempersembahkan bacaan terbaik sebagai bentuk pengabdian kepada Allah. Masyarakat yang hadir pun tidak sekadar menjadi penonton pasif, melainkan larut dalam suasana religius, menangis, berdoa, dan mengamini bacaan-bacaan ayat yang dilantunkan.
Syaikh Abdul Halim Hasan sebagai tokoh sentral sayembara itu tampaknya memahami betul bahwa al-Qur’an harus dihadirkan dalam kehidupan umat dengan cara yang menyentuh hati. Beliau tidak memilih jalur politik untuk mempengaruhi masyarakat, tetapi memilih jalur budaya yang lebih halus dan mengakar. Dengan menjadikan bacaan al-Qur’an sebagai festival rakyat, beliau mengangkat martabat al-Qur’an di hadapan masyarakat luas. Inilah yang kemudian menjadi dasar berkembangnya tradisi Musabaqah Tilawatil Qur’an di Indonesia, yang secara resmi baru diinstitusikan pemerintah pada tahun 1968.
Jika ditelusuri, sayembara Binjai juga menjadi bagian dari gerakan kebudayaan Islam di Sumatera Utara yang kala itu sangat dinamis. Selain tarekat dan pengajian tradisional, lomba membaca al-Qur’an menjadi medium baru yang relevan dengan zaman. Melalui perlombaan, anak muda diajak untuk tampil percaya diri, mengasah kemampuan, sekaligus mengikat diri dengan al-Qur’an. Karena itu, sayembara ini tidak hanya menghasilkan pemenang, tetapi juga meninggalkan warisan kultural berupa kebiasaan baru di kalangan masyarakat: menjadikan bacaan al-Qur’an sebagai kebanggaan sosial.
Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sayembara baca Qur’an di Binjai tahun 1951 adalah salah satu fondasi penting lahirnya MTQ di Indonesia. Dari sinilah terlihat bahwa gerakan kembali kepada al-Qur’an di kalangan masyarakat Muslim pasca-kemerdekaan bukan sekadar slogan, tetapi diwujudkan secara nyata dalam bentuk peristiwa sosial-keagamaan yang melibatkan ribuan orang. Lebih dari itu, keberhasilan acara ini menunjukkan bahwa dakwah Islam dapat berjalan dengan baik apabila dilandasi kecintaan kepada al-Qur’an, dipimpin oleh ulama yang ikhlas, dan mendapat dukungan penuh dari masyarakat.
Untuk itulah, dapat dikatakan bahwa sayembara ini tidak hanya meninggalkan jejak sejarah, tetapi juga memberikan inspirasi bahwa al-Qur’an selalu relevan untuk dijadikan pusat orientasi kehidupan; bukan hanya kitab bacaan, tetapi juga sumber kebudayaan yang mampu menyatukan umat, memperhalus budi pekerti, dan menggerakkan perubahan sosial. Syaikh Abdul Halim Hasan al-Binjai dengan segala kiprah dan pengabdiannya telah menorehkan satu bab penting dalam sejarah umat Islam Indonesia, yang pantas dikenang dan dilanjutkan oleh generasi berikutnya.
Sumber Bacaan:
- Janita Anggrani Sembiring, “Jejak Islam dan Perkembangannya di Kota Binjai 1887-1956” (undergraduate, UNIMED, 2016
- Azhari Akmal Tarigan, “Syekh H. Abdul Halim Hasan & Khittah MTQ,” Waspada, March 21, 2014.