- Diposting oleh : Lptq Sumut
- pada tanggal : September 28, 2025
Penggagas utama dari peristiwa bersejarah itu adalah Muhammad Ali Umar, seorang tokoh kelahiran 17 Agustus 1920 yang wafat pada 1996. Ali Umar bukan hanya dikenal sebagai penggerak keagamaan, tetapi juga seorang seniman. Sejak kecil beliau memiliki kegemaran melukis dan mengukir, hingga dewasa beliau banyak terlibat dalam pembuatan maket bangunan penting. Karyanya termasuk maket menara masjid yang kelak diperuntukkan bagi almarhum H. Adam Malik, Wakil Presiden RI, maket Istana Maimun Medan, hingga maket Masjid Raya Medan. Dari sisi ini tampak jelas bahwa Ali Umar memiliki kepribadian unik: seorang seniman sekaligus pendidik dan penggerak agama. Kombinasi itu yang kemudian membentuk kepekaannya terhadap seni baca al-Qur’an dan melahirkan gagasan sayembara pada 1946 tersebut.
Sebelum gagasan itu terealisasi, sesungguhnya Ali Umar telah memikirkannya sejak 1938, sesaat setelah menyelesaikan sekolahnya di Langkat. Sekembalinya ke kampung halaman, beliau mendirikan sebuah sekolah rakyat di Pondok Bungur. Dalam konteks pendidikan itu beliau mencoba merancang perlombaan membaca ayat-ayat suci al-Qur’an bagi putra-putri desa. Namun rencana tersebut pada awalnya mendapat tentangan keras. Beberapa guru agama dan pemuka masyarakat menilai, al-Qur’an tidak pantas diperlombakan. Mereka khawatir bahwa memperlombakan ayat suci akan menyeret umat pada sikap meremehkan kesakralan wahyu. Akibat dari kontroversi itu, sekolah yang baru dirintis oleh Ali Umar sempat ditutup, karena banyak orang tua yang menarik anak-anaknya. Sebuah pengalaman pahit yang memperlihatkan betapa gagasan besar seringkali lahir melalui jalan terjal penolakan.
Tidak berhenti di situ, Ali Umar kemudian mendirikan sebuah organisasi bernama Persatuan Agama Islam (PAI) pada 1940. Harapannya, organisasi ini bisa memperkuat posisi umat Islam, mengartikulasikan aspirasi keagamaan, sekaligus memberi ruang bagi gagasan-gagasan baru. Namun PAI juga mendapat tentangan dari Kerajaan Asahan. Ali Umar dan rekan-rekannya bahkan sempat diadili oleh sidang kerajaan. Peristiwa ini memperlihatkan betapa gagasan tentang sayembara baca Qur’an tidak hanya berhadapan dengan resistensi kultural dari sebagian ulama, tetapi juga hambatan politik dari otoritas lokal. Namun dalam sejarah, ide yang berakar kuat biasanya menemukan jalannya. Demikian pula dengan gagasan Ali Umar.
Seiring perjalanan waktu, lahirlah momentum yang memungkinkan realisasi gagasan itu. Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia, pada awal 1946 masyarakat diliputi semangat baru untuk meneguhkan identitas keislaman dan kebangsaan sekaligus. Dalam situasi itulah, pada 12 Februari 1946 di surau sekolah rakyat Desa Pondok Bungur, sayembara membaca al-Qur’an pertama kali dilaksanakan. Masyarakat sekitar Asahan dan Simalungun diundang untuk turut serta. Perlombaan ini mengundang perhatian besar. Beberapa nama muncul sebagai pemenang, di antaranya Amnah, Nurdin, dan Syarifah. Juri perlombaan termasuk tokoh penting seperti Hesen Kamal, sementara ulama lokal seperti H. Tahir Abdul Kahulama memberikan legitimasi keagamaan dengan pandangan bahwa sayembara membaca Qur’an tidaklah haram, asalkan diniatkan sebagai upaya syiar dan pengagungan kalam Allah.
Sejak saat itu, sayembara tersebut dikenang sebagai peristiwa penting. Namun, jejak fisiknya juga ikut berubah seiring pembangunan desa. Masjid kecil yang dahulu digunakan untuk perlombaan akhirnya dibongkar, dan kegiatan berpindah ke Masjid Taqwa. Pada tahun 1986, Haji Nurdin—pemenang pertama MTQ 1946—meminta agar masjid tersebut diganti namanya menjadi Masjid MTQ 1946, sebagai bentuk penghormatan terhadap sejarah. Hingga kini, Masjid MTQ 1946 di Pondok Bungur menjadi saksi bisu lahirnya tradisi besar itu.
Dari wawancara dengan Nahar, Ketua Yayasan MTQ Pertama, diperoleh gambaran betapa peristiwa ini tidak sekadar ritual lomba, melainkan transformasi sosial. Nahar menuturkan bahwa sayembara baca Qur’an itu memberi kebanggaan sekaligus tantangan bagi masyarakat. Di satu sisi, ada kegembiraan karena anak-anak muda dapat memperlihatkan kemampuan tilawah mereka di ruang publik. Di sisi lain, ada kegelisahan bahwa perlombaan bisa menyeret pada sikap berlebihan. Namun, pada akhirnya masyarakat menerima, karena terbukti sayembara itu melahirkan generasi baru pembaca Qur’an yang lebih percaya diri.
Dalam perkembangannya, perlombaan ini merambat dari desa ke desa, lalu ke tingkat kecamatan. Model yang dicetuskan Ali Umar ini menjadi inspirasi, hingga akhirnya konsep Musabaqah Tilawatil Qur’an berkembang di berbagai wilayah lain di Sumatera Utara. Dengan demikian, wajar jika Pondok Bungur untuk sebagian orang dianggap sebagai titik awal lahirnya tradisi MTQ di tanah air. Fakta bahwa inisiatif itu lahir hanya beberapa bulan setelah kemerdekaan menambah nilai simbolisnya: membaca al-Qur’an bukan hanya ibadah individual, melainkan juga manifestasi identitas bangsa yang baru lahir.
Menarik dicatat, keberhasilan Ali Umar menggagas sayembara baca Qur’an tidak bisa dilepaskan dari latar belakangnya sebagai seniman. Kecintaannya pada seni rupa dan seni bangunan membuatnya memiliki sensitivitas terhadap estetika. Ali Umar meyakini bahwa al-Qur’an yang suci itu juga bisa dihayati keindahannya melalui suara. Keyakinan ini sejalan dengan tradisi nagham dalam tilawah al-Qur’an yang sejak awal sejarah Islam memang menimbulkan perdebatan. Ada yang mendukung, karena memperindah bacaan akan menggugah hati. Namun ada pula yang menolak, karena khawatir menyerupai nyanyian duniawi. Dialektika yang dialami Ali Umar di Asahan sesungguhnya merupakan bagian dari dinamika besar umat Islam sejak berabad-abad. Oleh karena itu, sejarah lokal ini juga menyimpan refleksi global tentang seni dalam Islam.
Lahirnya MTQ di Pondok Bungur juga memperlihatkan bagaimana sebuah tradisi religius bisa menjadi instrumen sosial. Perlombaan baca Qur’an bukan hanya melatih kemampuan individual, tetapi juga memperkuat kohesi masyarakat. Masyarakat yang datang menonton sayembara merasakan kebersamaan, kebanggaan, sekaligus penguatan iman. Sayembara itu seperti perayaan besar desa. Anak-anak muda berlatih keras, orang tua memberi dukungan, dan para ulama mengawasi agar acara berlangsung dengan khidmat. Semua elemen terlibat, sehingga sayembara itu bukan sekadar perlombaan, tetapi ekspresi kecintaan terhadap al-Quran dalam ruang social. Kisah ini kemudian diwariskan dari generasi ke generasi. Pada 1986, empat puluh tahun setelah peristiwa pertama, masyarakat dengan penuh kesadaran mengabadikan sejarah itu dengan menamai masjid sebagai Masjid MTQ 1946. Tindakan ini merupakan simbolisasi kolektif, bahwa mereka tidak ingin sejarah itu hilang. Lebih jauh lagi, dengan berkembangnya MTQ hingga tingkat nasional dan internasional, masyarakat Pondok Bungur merasa memiliki kontribusi penting dalam sejarah bangsa. Mereka menyebut diri sebagai “desa kelahiran MTQ”, sebuah identitas kultural-religius yang membanggakan.
Dari sisi akademik, peristiwa MTQ pertama di Asahan ini juga penting untuk diteliti, sebab menunjukkan bahwa tradisi keagamaan tidak lahir tiba-tiba dari atas, melainkan tumbuh dari prakarsa lokal yang kemudian berkembang secara nasional. Ali Umar dengan kegigihannya adalah contoh nyata agen perubahan yang berangkat dari desa. Meski mengalami penolakan, Ali Umar tetap bertahan, hingga akhirnya gagasannya diterima dan bahkan dijadikan tradisi nasional. Dalam hal ini, sejarah MTQ di Indonesia dapat dipahami bukan hanya sebagai kebijakan negara, melainkan juga sebagai akumulasi inisiatif masyarakat akar rumput.
Sampai hari ini, MTQ telah berkembang menjadi ajang besar, bahkan diperlombakan di tingkat internasional. Namun, penting untuk selalu mengingat bahwa akar tradisi ini berasal dari sebuah desa kecil di Asahan, Sumatera Utara, pada 12 Februari 1946. Peristiwa itu meneguhkan keyakinan bahwa seni membaca al-Qur’an adalah bagian dari syiar Islam yang mampu merangkul masyarakat, memperindah ibadah, sekaligus memperkuat persaudaraan. Sejarah lahirnya MTQ pertama ini adalah bukti bahwa Islam di Nusantara senantiasa mampu memadukan antara kesakralan wahyu dan keindahan seni, antara kecintaan kepada Tuhan dan kebanggaan kepada budaya lokal.
- Informasi tentang Sayembara Baca al-Quran di Asahan Ini secara umum bersumber dari hasil wawancara bersama Pengurus Yayasan MTQ Pertama Indonesia dan Dokumentasi Hasil Penelitian Anas Muda Harahap
- Watni Marpaung, “Mensyi’arkan AL-Quran Via MTQ,” Waspada, 2020.
- Hendra Syahputra, “Masjid MTQ 1946, Monumen Awal MTQ Di Indonesia,” Rri.Co.Id - Portal Berita Terpercaya, accessed September 24, 2025