Skip to Content
Loading...
lptqsumut
lptqsumut
Online
Assalamu'alaikum Wr. Wb. 👋
Ada yang bisa dibantu?

MTQ sebagai Wahana Toleransi Beragama

Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ) tidak hanya berfungsi sebagai ajang perlombaan tilawah semata, melainkan juga menjadi wahana yang menyingkap wajah Islam dalam bentuk yang ramah, teduh, dan terbuka terhadap perbedaan. Perhelatan ini menghadirkan Al-Qur’an dalam ranah publik sebagai sumber inspirasi, bukan hanya bagi umat Islam, tetapi juga bagi komunitas agama lain yang hidup berdampingan dalam ruang sosial bangsa Indonesia. Dalam konteks multikultural Indonesia, MTQ telah membuktikan dirinya sebagai arena yang melampaui batas ritual keagamaan menuju peran sosial yang lebih luas, yakni sebagai instrumen penguatan toleransi beragama dan perekat kebangsaan.

Salah satu contoh yang menonjol adalah Musabaqah Tilawatil Qur’an ke-29 di Saumlaki, Kepulauan Tanimbar, Maluku, yang dikaji oleh Didin Baharuddin, La Jamaa, dan Rilan Abdul Syarif. Lokasi ini unik karena mayoritas penduduknya adalah Kristen, sementara Muslim hanya sekitar empat persen. Fakta ini memperlihatkan sebuah anomali sekaligus cermin hubungan sosial yang istimewa. Alih-alih melahirkan resistensi atau sekat, penyelenggaraan MTQ di Saumlaki justru disambut hangat oleh masyarakat Kristen, bahkan seorang pastor memimpin kepanitiaan acara. Lebih jauh, keterlibatan aktif umat Kristen sebagai panitia, penggunaan hijab oleh penyelenggara non-Muslim, hingga pelaksanaan cabang lomba syarhil Qur’an di gedung Katolik yang dindingnya dihiasi salib dan lukisan Bunda Maria menunjukkan sebuah konvergensi identitas yang luar biasa. MTQ di Saumlaki menghadirkan ruang interaksi lintas agama yang penuh penghormatan, memperlihatkan bahwa nilai-nilai Qur’ani mampu menjadi jembatan yang memperkuat kohesi sosial.

Fenomena ini memberi pesan penting bahwa Al-Qur’an dalam wujud MTQ bukanlah simbol eksklusivitas, melainkan energi spiritual yang mampu mengikat perbedaan ke dalam semangat kebersamaan. Sikap masyarakat Kristen Tanimbar yang menerima MTQ dengan tangan terbuka memperlihatkan transformasi identitas sosial. Mereka tidak merasa terancam oleh simbol-simbol Islam yang hadir, sebaliknya menjadikannya sarana memperkaya relasi kemanusiaan. Inilah bukti bahwa MTQ dapat berfungsi sebagai wahana toleransi yang konkret, bukan retorika yang hanya indah di tataran wacana.

Keterbukaan semacam itu tidak hanya ditemukan di Saumlaki. Pada MTQ Nasional ke-28 di Padang, Sumatera Barat, yang digelar pada 2020 di tengah pandemi Covid-19, nilai-nilai toleransi juga menemukan ruang aplikasinya. Perhelatan nasional yang dibuka oleh Presiden Joko Widodo dan Menteri Agama Fachrul Razi ini menjadikan semangat persatuan sebagai denyut utama. Kepala Kanwil Kemenag Sumbar menegaskan bahwa MTQ membawa misi membentuk sumber daya manusia unggul, profesional, dan Qur’ani untuk Indonesia maju. Di balik tema tersebut, tersirat gagasan besar tentang moderasi beragama, yang oleh Menteri Agama waktu itu ditegaskan sebagai wasathiyah—jalan tengah dalam menjalankan agama yang jauh dari ekstremitas.

Empat indikator moderasi beragama—komitmen kebangsaan, anti kekerasan, toleransi, dan penghargaan pada kearifan lokal—dapat ditemukan dalam helatan MTQ di Padang. Komitmen kebangsaan hadir dalam pengakuan bersama atas Pancasila, UUD 1945, dan NKRI sebagai konsensus yang tak tergugat. Prinsip anti kekerasan tampak dalam nuansa damai yang melingkupi seluruh rangkaian acara. Sementara itu, nilai toleransi diwujudkan dengan melibatkan panitia dan tokoh-tokoh lintas agama. Sosok Muryadi Eko Priyanto, pembimbing masyarakat Buddha, menjadi koordinator humas dan protokoler MTQ. Keterlibatan seorang non-Muslim dalam mengatur jalannya acara keagamaan umat Islam bukan sekadar simbol seremonial, tetapi ekspresi nyata dari kepercayaan, penghormatan, dan solidaritas. Bahkan menurut kesaksiannya, masyarakat Minangkabau menjunjung tinggi toleransi dan menghargai keberagaman, sehingga keterlibatan dirinya dan rekan-rekan non-Muslim terasa natural, bukan sesuatu yang dipaksakan.

MTQ di Padang memperlihatkan bagaimana sebuah kegiatan keagamaan dapat menjadi ruang publik yang inklusif, di mana partisipasi tidak dibatasi oleh sekat keagamaan. Kehadiran panitia dari agama lain menunjukkan bahwa MTQ tidak hanya milik umat Islam, melainkan juga bagian dari denyut kehidupan bersama di negeri yang majemuk. Kesediaan masyarakat lintas agama untuk terlibat justru memperkokoh fondasi persaudaraan kebangsaan, sesuai dengan semangat Al-Qur’an yang menghadirkan Islam sebagai rahmat bagi semesta.

Kedua contoh ini, Saumlaki dan Padang, memperlihatkan pola yang konsisten: MTQ membuka peluang lahirnya ruang dialog, kerja sama, dan penghargaan antarumat beragama. Dalam perspektif sosio-religius, MTQ berfungsi sebagai instrumen yang menumbuhkan kesadaran akan pentingnya keberagaman. Bagi umat Islam sendiri, hal ini menjadi ujian untuk menghadirkan ajaran Qur’ani bukan dalam bentuk eksklusivisme simbolik, melainkan sebagai nilai-nilai universal yang mampu beresonansi dengan kemanusiaan. Bagi umat beragama lain, keterlibatan dalam MTQ mengajarkan pentingnya empati dan kesediaan untuk berbagi ruang dalam semangat kebangsaan.

Secara historis, sebagaimana telah dijelaskan bahwa memang MTQ lahir dari tradisi masyarakat Muslim Indonesia yang ingin menghadirkan Al-Qur’an dalam dimensi publik. Namun dalam perjalanannya, MTQ tidak lagi berhenti pada kompetisi tilawah atau seni baca Al-Qur’an. MTQ menjelma menjadi panggung sosial di mana identitas keislaman berpadu dengan identitas kebangsaan. Hal ini sangat penting di tengah tantangan pluralitas bangsa Indonesia yang kerap diguncang isu intoleransi dan polarisasi. MTQ memberi teladan bahwa toleransi bukan konsep abstrak, melainkan praktik nyata yang diwujudkan dalam kerja sama lintas agama dan penghargaan atas perbedaan.

MTQ juga telah mnjadi sarana pembelajaran sosial bagi generasi muda. Melalui MTQ, mereka dapat memahami bahwa keberagamaan tidak harus berlawanan dengan kebangsaan, bahkan keduanya bisa saling menguatkan. Nilai-nilai Qur’ani seperti keadilan, kasih sayang, dan penghormatan terhadap martabat manusia menemukan manifestasinya dalam relasi sosial yang harmonis. Ketika non-Muslim dengan tulus membantu mensukseskan MTQ, maka pesan yang tersampaikan kepada generasi muda adalah bahwa agama sejatinya mengajarkan kedamaian dan persaudaraan.

Dalam kacamata akademik, fenomena ini menunjukkan bagaimana agama berfungsi sebagai energi sosial yang konstruktif. Al-Qur’an yang dibacakan dalam MTQ bukan sekadar lantunan indah, tetapi juga pernyataan simbolik tentang kehadiran Islam yang menyejukkan. Toleransi yang tumbuh dari MTQ memperlihatkan bahwa keberagamaan dapat menjadi sumber kohesi, bukan perpecahan. Di titik ini, MTQ telah berkontribusi memperkuat nasionalisme Islam, yakni nasionalisme yang berakar pada nilai-nilai Qur’ani, sekaligus sejalan dengan semangat kebangsaan Indonesia yang majemuk.

Dengan demikian, MTQ sebagai wahana toleransi beragama tidak dapat direduksi hanya pada acara perlombaan. MTQ telah menjadi simbol keterbukaan, sarana penguatan kohesi sosial, dan cermin dari moderasi beragama yang dibutuhkan bangsa ini. Di Saumlaki, MTQ menghadirkan harmoni di tengah dominasi Kristen. Di Padang, MTQ menjadi ruang perjumpaan lintas iman dalam suasana persaudaraan. Dua contoh itu cukup untuk membuktikan bahwa MTQ, dengan segala dinamika dan konteksnya, adalah instrumen penting dalam membumikan Al-Qur’an sekaligus merajut persatuan bangsa melalui praktik nyata toleransi beragama.

Sumber Bacaan:

  • Didin Baharuddin et al., “The Qur’an in A Christian Majority: A Case Study of Tolerance in the 29th MTQ in Saumlaki, the Moluccas, Indonesia,” Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama Dan Sosial Budaya 7, no. 2 (2022): 121–30, https://doi.org/10.15575/jw.v7i2.22631.
  • Kemenag, “Semangat Moderasi Beragama di MTQN Sumbar,” https://kemenag.go.id, accessed September 24, 2025, https://kemenag.go.id/nasional/semangat-moderasi-beragama-di-mtqn-sumbar-257tt4.

Berbagi

Postingan Terkait

Konfirmasi Penutupan

Apakah anda yakin ingin menutup pemutaran video ini?